Senin, 30 Maret 2015

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA PADA PENYANDANG DISABILITAS

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA PADA PENYANDANG DISABILITAS

DI SUSUN OLEH:
FENNI SUTRISNI
(3142111031)


KELAS REGULER B 2014

JURUSAN PPKn
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
 2015
ABSTRAK

Setiap orang berhak mendapat jaminan dari Negara terhadap perlindungan hak-hak asasi yang dimilikinya termasuk jaminan perlindungan hak asasi bagi para penyandang disabilitas atau bisa juga disebut penyandang cacat. Penyandang disabilitas atau penyandang cacat memerlukan jaminan perlindungan hak asasi yang lebih ketimbang dengan orang normal lainnya karena mereka sangat rentan dengan deskriminasi dan pengucilan dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Perlindungan hak asasi manusia di Indonesia sebenarnya sudah diatur pada Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal 28A- 28J yang mengatur tentang hak asasi manusia. Namun UUDNRI Tahun 1945 belum cukup untuk menjamin pemenuhan hak asasi manusia seluruh warganya untuk itulah di Indonesia juga terdapat UU yang didalamnya menjamin perlindungan hak asasi manusia seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Untuk penyandang disabilitas atau cacat pemenuhan jaminan hak asasi manusianya dengan tegas diatur dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention on the Right of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. Namun semua peraturan perundang-undangan yang ada belum cukup menjammin pemenuhan HAM penyandang disabilitas tanpa ada dukungan dari masyarakat untuk ikut serta menghargai dan menghormati hak asasi penyandang disabiliitas.





LATAR BELAKANG MASALAH
Seperti yang kita ketahui bahwa Hak Asasi Manusia merupakan anugrah dari Tuhan YME yang di bawa sejak lahir. Setiap orang atau individu-individu memiliki haknya masing-masing. Secara sederhana orang awam cenderung memandang hak asasi manusia sebagai harga diri. Untuk itulah dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang banyak orang yang berussaha melindungi harga diri atau hak asasinya baik secara sadar maupun tidak sadar. Karena dengan mempertahankan harga dirinyalah maka seseorang pasti menganggap dirinnya berharga.
Menurut Franz Magnis Suseno dalam (Majda El-mujtaj, 2012:1) beranggapan bahwa membicarakan hak asasi manusia (HAM) berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia. HAM, ada bukan di berikan oleh masyarakat dan kebaikan dari Negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Sedangkan pengertian hak adalah suatu kewenangan atau kekuasaan yang di berikan oleh oleh hukum. Perwujutan hukum menjadi hak dan kewajiban itu terjadi dengan adanya perantaraan pereistiwa hukum. Istilah hak mmemiliki banyak arti, hak dapat diartikan sebagai suatu yang benar, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, atau kebebasan, kemerdekaan. Hak menggacu pada kebebasan yang mendapat jaminan hukum (Husin, 2013:74-75).
Dari penertirtian diatas dapat dikatakan bahwa melindungi hak asasi merupakan harga mati magi seorang manusia. Mendapatkan perlindungan, penghargaan dan pengakuan hak asasi dalam kehidupan sosial merupakan tujuan dari seorang manusia sehingga mereka berinteraksi dan bergabungn dalam kehidupan sosialnya. Jika seseorang mendapat perllindungan, penghargaan dan pengakuan terhadap hak asasinya maka dapat dikatakan seseorang tersebut berharga dan dapat menempatkan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun tidak jarang dalam kehidupan sehari-hari kita malah menemukan pelanggaran hak asasi manusia baik secara sengaja maupun tidak sengaja terkhusus pada penyandang disabilitas. Pendeskriminasian secara terang-terangan juga banyak kita temui pada penyandang disabilitas. Bahkan Negara sebagai organisasi besar yang seharusnya dapat memberikan jaminan perlindungan hak asasi pada para penyandang disabilitas secara utuh dan menyeluruh sesuai dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 hanya terlihat angkat tangan dan acuh tak acuh.





























KAJIAN TEORITIS
A.      TEORI PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA

Menurut Ibrahim Anis dalam (Majda, 2012:1) secara etimologis, hak asasi manusia terbentuk dari 3 kata, hak, asasi, dan manusia. Dua kata pertama, hak dan asasi berasal dari bahasa Arab, sementara kata manusia adalah bahasa Indonesia. Kata haqq terambil dari kata haqqa, yahiqqu, haqqaan, artinya benar, nyata, paasti, tetap, dan wajib. Apabila di katakana yaiqqu alaika antaf ‘ala kadza, itu arinya kamu wajib melakukan seperti ini. Berdasarkan pengertian tersebut, maka haqq adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kata assasiy berasal dari akar kata assa, yaussu, asassan, artinya membangun, mendirikan, meletakkan.
Sedangkan pengertian hak itu sendiri menurut Husin (2013: 74-75) adalah kewenangan atau kekuasaan yang di berikan oleh oleh hukum. Perwujutan hukum menjadi hak dan kewajiban itu terjadi dengan adanya perantaraan pereistiwa hukum. Istilah hak memiliki banyak arti, hak dapat diartikan sebagai suatu yang benar, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, atau kebebasan, kemerdekaan. Hak menggacu pada kebebasan yang mendapat jaminan hukum.
Pengertian hak asasi manusia menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 menegaskan bahwa Hak Asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk tuhan yang maha esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention on the Right of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) menyatakan bahwa hak asasi manusia hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal, dan langgeng sehingga harus dilindungi, dihormati dan dipertahankan.

Todung Mulya Lubis (1993:14-25) menyebutkan bahwa ada empat teori tentangn HAM, yaitu:
  •  Hak-hak alami (natural right), berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia.
  •  Teori positivis (positivist theory), yang brpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam hukuman yang riil, maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi.
  •  Teori relativis kultural, berpandangan bahwa mengannggap hak itu bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultular terhadap dimensi kultulat yang lain, atau disebut dengan imperialism kultural.
  •   Doktrin marxis, teori ini menolak hak-hak alami karena Negara atau kolektivitas adalah sumber galian seluruh hak.
2
B.      TEORI SERTA JAMINAN HAK ASASI MANUSIA PADA PENYANDANG DISABILITAS

Menurut Mulyono dalam (Indah Triutari, 2014:226) Istilah penyandang disabilitas atau yang biasa disebut dengan anak berkebutuhan khusus atau anak dengan hambatan dapat dimakanai dengan “anak-anak yang tergolong cacat atau oenyandang ketunaan dan juga anak potensial dan berbakat.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat menyatakan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari :
1.      Penyandang cacat fisik;
2.      Penyandang cacat mental;
3.      Penyandang cacat fisik dan mental;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Right Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) menyatakan bahwa Negara Indonesia Negara yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sehingga perlindungan daan pemajuan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan khususnya penyandang disabilitas perlu ditingkatkan.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Right Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) Menyatakan Bahwa hak-hak penyandang disabilitas dharus bebas dari penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi, merendahkan mertabat manusia, bebas dari ekspoitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapat penghormatan atas intergitas mental dan fisiknya berdasarkan kessamaan dengan orang lain. Termasuk diddalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Right Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) juga Menyatakan bahwa Negara berkewajiban merealisasikan hak yang terrmuat dalam konvensi, melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan,hukum dan administrasi dari setipa Negara, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan praktik yang deskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik perempuan maupun anak, menjamin partisipasi penyandang disabiltas dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, perkerjaan, politik, olah raga, seni, dan budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia  Juga dengan tegas mengatur jaminan hak-hak dasar warga Negara seperti pada BAB III mengenai hak asasi manusia dan kebebasasan dasar manusia yang mengatur tentang hak untuk hidup pada bagian kesatu, hak mengembangkan diri pada bagian kedua, hak mengembangkan diri pada bagian ketiga, hak memperoleh keadilan pada bagian keempat, ha katas kebebasan pribadi pada bagian kelima, hak atas rasa aman pada bagian keenam, hak atas kesejahteraan pada bagian ketujuh, hak turut serta ddalam pemerintahan pada bagian kedelapan, hak wanita pada bagian kesembilan dan hak anak pada bagian kesepuluh.
















ANALISIS TEORITIS

Secara tegas sebenarnya Indonesia sebagai Negara hukum sudah mengatur tentang perlindungan Hak Asasi Manusia atau yang sering disebut dengan HAM. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Idonesia Tahun 1945 Pasal 28A-28J, seperti:
a)      Hak kebebasan beragama dan beribadat sesuai dengan kepercayaannya.
b)      Bebas unntuk berkumpul.
c)      Hak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adail.
d)     Hak untuk berkerja dan memperoleh hasilnya.
e)      Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam oemnerintahan.
f)       Hak atas setatus kewarganegaraan.
g)      Dan lain-lain.
Selain itu peraturan tentang hak asasi manusia juga telah di atur tegas dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Namun disekitar kita penerapan kedua Undang-Undang ini belum dilaksanakan secara maksimal. Masih banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi oleh warga Negara Indonesia termasuk pelanggaran yang dilakukan oleh aparat pemerintahan yang seharusnya melindungi hak asasi warga negaranya.
 Menurut Todung Mulya Lubis (2005: 8) ketika rezim Soeharto tersungkur pada 1998, banyak orang berilusi bahwa hak asasi manusia akan menemui masa depan yang gemilang dan para pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama puluhan tahun akan bisa diseret ke pengadilan. Nyatanya, sampai hari ini pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang dibawa ke pengadilan bisa dihitung dengan jari.
Pernyataan Todung Mulya Lubis ini membuktikan pada kita bahwa memang perlindungan hak asasi di Indonesia masih sangat memperhatinkan. Apalagi bagi warga Indonesia yang menyandang disabilitas atau cacat (cacat mental, cacat fisik serta cacat fisik dan mental).
Seperti yang ada pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat menyatakan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: Penyandang cacat fisik,  Penyandang cacat mental, Penyandang cacat fisik dan mental.
Bagi mereka mungin sangat sulit untuk melindungi hak asasinya selayaknya manusia normal lainnya. Sering sekali kita melihat mereka yang penyandanng disabilitas ini yang mendapat deskriminasi dan penyiksaan baik secara langsung maupun tidak langsung walaupun sudah ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat dan baru-baru ini di buat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Right Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 3 menjelaskan pengertian dari deskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan, yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atau dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan , penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau pengurangan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual, maupun kolektif ddalam bidang politik,ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Sedangkan penyiksaan di jelaskan menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 4 adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jaasmani, maupun rohani, pada seorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan oleh seseorang atau orang ketiga dengan menghukumnya atas suat perbuatan yang telah dilakukan atau di duga telah dilakukan, untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk deskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oldeh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapa pun dan/ atau pejabat politik.
Menurut Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Penyandang Disabilitas Pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas perlu diprioritaskan dan harus di utamakan dalam struktur kebijakan negara. Secara demografis, jumlah penyandang disabilitas mengalami peningkatan. Namun kondisi itu tidak diimbangi dengan pelembagaan sistem pelayanan yang memihak pada aspek kebutuhan dasar penyandang disabilitas. Berdasarkan data terakhir dari WHO (2011) menyebutkan bahwa jumlah penyandang disabilitas di dunia pada tahun 2010 adalah sebanyak 15,6 persen dari total populasi dunia atau lebih dari 1 (satu) milyar. Jika penduduk Indonesia saat ini sebanyak 247 juta jiwa, itu berarti jumlah penyandang disabilitas berdasarkan estimasi WHO tersebut di atas adalah 37.091.000 jiwa.Tingkat prevalensi penyandang disabilitas pada tahun 2007 di Indonesia adalah sebanyak 21,3 persen. Data World Bank (Pozzan, 2011) menyebutkan bahwa sebanyak 80 persen penyandang disabilitas yang tinggal di negara berkembang termasuk Indonesia mengalami kerentanan, keterbelakangan dan hidup di bawah garis kemiskinan sehingga termarjinalisasi dalam bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya. Menurut catatan UN ESCAP (2009) dalam Apeace (2012), di Indonesia tercatat 1.38 persen penduduk dengan disabilitas atau sekitar 3.063.000 jiwa.Angka ini merupakan jawaban pemerintah RI terhadap survey UN-ESCAP tahun 2006 yang diperoleh dari Susenas 2006.
 Dari keseluruhan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia ini mungkin hanya sebagian yang bisa menggunakan hak-haknya seperti yang tertuang dalam Undang-Undang yang sudah dibuat pemerintah seperti yang di sebutkan diatas. Sebagian lagi harus berjuang sendirian ditengah-tengah kerasnya hidup sebagai penyandang disabilitas dengan deskriminasi dan pandangan rendah dari orang-orang disekitarnya karena banyakl dari kita yang memang kurang menghargai dan menghormati para penyandang disabilitas.
Sehingga Penyandang disabilitas tidak mendapat hak dan kesempatan yang sama seperti warga negara lainnya. Penyandang disabilitas disamakan dengan orang sakit, tidak berdaya sehingga tidak perlu diberikan pendidikan dan pekerjaan, mereka cukup dikasihani dan diasuh untuk kelangsungan hidupnya. Selain itu, fasilitas berupa aksesibilitas fisik dan non fisik untuk penyandang disabilitas relatif sangat terbatas sehingga menyulitkan mereka untuk bisa melakukan kegiatannya secara mandiri (Dipresentasikan dalam FGD bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) “Urgensi Pembentukan Hukum Nasional tentang Penyandang Disabilitas” Jakarta, 18 November 2014).
Padahal pemikiran yang seperti itu jelas salah. Kita harus menyadari penyandannng disabilitas hanya manusia biasa. Sama seperti kita mereka tidak mengharapkan terlahir dengan kekurangan. Untuk seharusnya pemerintahan Indonesia harus tegas terhadap pembuatan dan pelaksanaan jaminan dalam melindungi hak asasi manusia (HAM) bagi penyandang disabilitas. Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab I Mengenai Bentuk dan Kedaulatan Pasal 1 Ayat (3) Indonesia adalah Negara hukum. Itu menandakan kita semua sama di hadapan hukum baik kita yang kaya, miskin, dalam keadaan normal maupun dalam keadaan terkena disabilitas kita berhak mendapatkan hak-hak kita seperti yang tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan- peraturan hukum lainnya.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat pemerintah dapat membuat program dengan membuat:
a.   Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang kepada penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
b.      Aksesibilitasi adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek penghidupan ddan kehidupan.
c.       Rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam penghidupan masyarakat.
d.      Bantuan sosial adalah upaya pemberian bantuan kepada penyandang cacat yang tidak mampu yang bersifat tidak tetap, agar mereka dapat meningkatkan taraf kesejahteraan hidupnya.
e.       Pemeliharaan taraf kesejahteraan adalah upaya perlindungan dan pelayanan yang bersifat terus-menerus, agar penyandang cacat dapat mewujudkan taraf hidup yang wajar.
Dan sebagai warga Negara yang baik kita dapat mendukung program-program yang di buat oleh pemerintah tersebut, menghargai dan menghormati mereka tanpa ada perasaan yang merendahkannya dan tindakan-tindakan lainnya yang dapat menjadi bentuk menjamin terpenuhinya hak asasi manusia pada penyandang disabilitas.













KESIMPULAN

Dari paparan dan pembahasan ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hak asasi manusia (HAM) sudah merupakan bagian dari manusia itu sendiri. Manusia akan cenderung melindungi hak asasi yang ada padanya. Namun disamping hanya melindungi hak asasinya sendiri manusia juga harus menghormati dan menghargai hak asasi orang-orang disekitarnya.
Begitu juga dengan menghargai dan menghormati hak asasi milik penyandang disabilitas. Karena bagaimanapun mereka memerlukan perhatian yang lebih dari kita untuk menghargai dan menghormati hak asasi yang ada padanya dibalik segala kekurangan mereka.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah mengatur dengan tegas mengenai hak asasi manusia warga Negara Indonesia.
Bagi penyandang disabilitas selain UU yang disebut diatas hak-hak mereka juga di jamin dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Right Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dan Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.





DAFTAR PUSTAKA

BUKU
El-Muhtaj, Majda. 2012. HAK ASASI MANUSIA dalam KONSTITUSI INDONESIA. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Husin, suady. 2013. CIVICS: ILMU DAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Medan: Unimed Press.
Lubis, Todung Mulya, 1993. In Search of Human Righhts: Legal-Political Dillemas of Indonesia’s New Order, 1966-1990. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
__________________, 2005. Jalan Panjang Hak Asasi Manusia.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.  

SITUS INTERNET
Indah Triutami.2014. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Sistem Pendidikan Segregasi Dan Pendidikan Inklusi.
< http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu/article/viewFile/3847/3080 >
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Penyandang Disabilitas
            <http://parlemen.net/sites/default/files/dokumen/NA%20RUU%20Penyandang%20Disabilitas_13012015.pdf>
Urgensi Pembentukan Hukum Nasional tentang Penyandang Disabilitas” Jakarta, 18 November 2014<http://www.parlemen.net/sites/default/files/dokumen/Materi%20Urgensi%20UU%20Penyandang%20Disabilitas_DPD.pdf >


PERATURAN PERUDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention on the Right of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).